Menengok Aktifitas Pesantren di Malang
Kegiatan Pondok Pesantren Warga Ponorogo di Malang.
MALANG--(KIBLATRIAU.COM)-- Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahu Falahil Mubtadiin Kasembon, Kabupaten Malang ramai menjadi pembicaraan menyusul eksodus warga dari berbagai daerah ke pondok tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa kiamat sudah dekat, sehingga harus semakin mendekatkan diri dan bersiap dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi. Bagi seorang Muslim, keyakinan tentang kiamat sudah dekat bukan sesuatu yang baru atau aneh. Karena kiamat sendiri sebuah teka-teki yang tidak diketahui waktu terjadinya, kecuali munculnya sejumlah tanda-tanda. Bahkan diutusnya Nabi Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman, menandakan kiamat memang sudah dekat.Namun semua itu, tidak menyurutkan rasa penasaran untuk mendapatkan informasi tentang Ponpes pimpinan KH Agus Muhammad Romli Sholeh (Gus Romli), tentang tarekat Akmaliyah Ash Sholihiyah dan sosok Gus Romli sendiri. Apalagi hampir semua media nasional memberitakan akibat eksodus puluhan warga dari berbagai daerah untuk mengungsi di pondok.
Kedatangan merdeka.com disambut oleh spanduk selamat datang, berikut poster capres dan calon legislatif DPR RI yang tengah berkontestasi. Tidak ditemukan papan nama atau sejenisnya yang memberi informasi tentang pondok pesantren tersebut. Baik spanduk maupun poster berada di luar atau sebelum masuk gang menuju kompleks pondok. "Selamat Datang Peserta Mondok Rajabiahan dan Biatan Plus Romadhonan Dalam Rangka Persiapan Akhir Zaman di Pon Pes Pulosari Kasembon Malang," demikian tulis spanduk tersebut. Jarak ujung gang pintu masuk ke kompleks pondok masih harus melewati gang dan pelataran beberapa rumah warga. Jaraknya sekitar 100 meter dengan pintu masuk kompleks yang sedikit menyempit.
Tiga orang menyambut kami dengan ramah dan satu di antara mereka menggunakan handytalkie (HT) berkomunikasi dengan pengurus lain di kantor pondok. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan, petugas meminta saya menulis buku tamu dan meninggalkan kartu identitas. Kami pun kembali melangkah, melanjutkan niat bertemu dengan pimpinan pondok. Namun karena pimpinan pondok masih menerima tamu, kami pun diminta menunggu giliran dengan ditemani pengurus pondok. Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahu Falahil Mubtadiin berdiri di Dusun Pulosari, Desa Sukosari, Kacamatan Kasembon, Kabupaten Malang. Pondok didirikan oleh KH Sholeh Saifuddin pada 1978 dengan menempati tanah di perkampungan seluas sekitar 1 hektar.
Kompleks pondok terdiri dari bangunan masjid Jannatul Ma'wa di sisi kanan pelataran yang berseberangan dengan bangunan terbuka untuk jemaah perempuan. Sisi kanan bangunan terbuka tersebut digunakan untuk dapur yang memang sedang direnovasi. Tampak tumpukan beberapa karung beras, sementara di sisi yang lain tertumpuk semen bahan bangunan.
Sementara sisi kiri dalam, ditempati puluhan kamar mandi berjajar dan menyambung dengan kantor pondok. Rumah pimpinan pondok berada di sisi kiri masjid yang menyatu dengan perkantoran tersebut, dengan dipisahkan oleh tempat parkir. Tampak tiga mobil terparkir di dekat kami bersantai menunggu giliran menghadap Gus Romli. Giliran kami sebenarnya sudah tiba, menyusul dua polisi meninggalkan 'dalem' Gus Romli. Tetapi waktu salat zuhur tiba ditandai kumandang azan, sehingga memang harus menunggu selesai salat jemaah.
Saya melihat beberapa santri muda berlarian menuju kamar mandi begitu usai mendengar azan. Sementara beberapa orang jemaah dewasa terlihat berdatangan menuju masjid. Saya yang numpang berwudu, menyaksikan kamar mandi berjajar dan mereka mandi dengan berbagai perbincangan penuh keceriaan. Jarak antara azan dan ikamah, saya rasakan memang agak panjang, lebih dari 30 menit. Selama itu diisi dengan puji-pujian selawatan yang banyak ditemukan di masjid atau musala ala Nahdlatul Ulama ( NU). Kemungkinan karena untuk memberi kesempatan para santri membersihkan diri sebelum mereka salat berjemaah dan kegiatan di masjid.
Para jemaah pria keseluruhan mengenakan baju putih dan bersarung, lengkap dengan kopiah putih. Kecuali kami yang waktu berbaju kotak-kotak dan bercelana jin. Mereka berdatangan dan berlahan-lahan memenuhi masjid, termasuk jemaah dari luar kompleks pondok. Sementara jemaah perempuan tampak berjajar mengenakan mukena putih di bangunan seberang masjid yang di atasnya terpasang dua buah bendera merah putih berbeda ukuran. Sekitar 1.000 jemaah laki-laki dan perempuan menjalankan salat zuhur yang dilanjutkan berzikir. Mereka khusus menjalankan ibadah tanpa terganggu isu pembicaraan yang ramai di luar pondok.
Usai salat, saya menyaksikan jemaah berzikir dengan suara cukup keras. Sebagian jemaah begitu bersemangat dengan menggerakkan kepala (menggeleng) hingga sebagian tubuh mereka terbawa bergerak. Mereka terbawa dalam bacaan-bacaan zikir yang begitu mendalam. Secara berurutan mereka membaca kalimat istigfar, selawat dan tahlil. Masing-masing dibaca dalam jumlah tertentu, yang mungkin ribuan kali yang dipimpin oleh Gus Romli yang sebelumnya juga menjadi imam salat. "Kalau akhir pekan itu ramai mas, ada pengajian umum juga, baca selawat dan zikir," kata petugas pondok di sela kami menunggu antrean.
Kami pun mendapat giliran 'sowan' dan ngobrol panjang di kediaman Gus Romli. Setelah mengawali saling berkenalan, Gus Romli pun menanggapi tentang munculnya kabar hoaks terhadap pondok dan dirinya. Fitnah yang tersebar menyebutnya telah mengubah rukun Islam, fatwa kiamat, meminta jemaahnya menjual aset dan menyetorkan ke pondok, menjual foto antigempa Rp 1 juta dan lain sebagainya.
"Itu kentara terlalu hoaksnya. Katanya saya mengubah rukun Islam, itu kentara hoaksnya. Masa kiai, saya ini alumni Pondok Lirboyo (Kediri), Abah saya orang pondokan. Adik ipar saya itu Gus Reza, Wakil PWNU Jawa Timur. Masak saya mengubah rukun Islam. Ketahuan fitnahnya itu. Terus saya menghukumi kafir orang yang tidak baiat akmaliyah, itu juga terlalu hoaks," katanya. Munculnya fitnah itu kata Gus Romli, berawal dari program triwulan di pondok pesantrennya yang sudah berjalan tiga tahun berturut-turut. Program itu diperuntukkan bagi jemaah tarekat Akmaliyah Ash Sholikah yang mengikuti riyadloh selama tiga bulan yakni Rajab, Sya'ban dan Ramadan.
Program itu memberikan persyaratan kepada jemaah membawa bahan pangan berupa gabah 5 kuintal untuk masa pangan satu tahun. Bahan pangan itu tetap menjadi milik jemaah dan dibawa pulang kembali saat tidak terjadi jatuhnya meteor atau ad-dhuqon. Meteor itu sebagaimana disebutkan dalam hadis terjadi dalam bulan Ramadan. "Bukan kiamat ya, ad-dhuqon (meteor). Itu setelah diteliti oleh para ulama, 10 tanda besar kiamat disebabkan karena hantaman meteor. Karena itu kemudian disingkat waspada meteor di bulan Ramadan," jelasnya. Semua dakwahnya, dikatakan Gus Romli memiliki sumber dari Alquran dan Hadis yang bisa dipertanggungjawabkan. Setiap Muslim wajib mewaspadai Ad-Dhuqon jika tanda-tandanya sudah mulai mendekati.
"Ini ada mediasi rencananya orang yang nyebarkan itu mau minta maaf. Itu tadi drafnya," jelasnya. Kendati berbicara dengan materi yang serius, suasana perbincangan kami berlangsung hangat dan sesekali diselingi tawa. Gus Romli beberapa kali memberikan pernyataan menggelitik dan guyonan, salah satunya tentang seorang jurnalis perempuan yang ternyata memilih kopi dibandingkan teh yang sudah disajikan."Iki tambah siji kopine. Ada wartawan cewek sing seneng ngopi iki," kata Gus Romli, meminta santrinya untuk mengganti teh milik seorang jurnalis perempuan dengan kopi. Gus Romli juga mengaku tidak akan melanjutkan persoalan itu ke ranah hukum. Ia memilih untuk memaafkan dan program triwulanan tetap berjalan sesuai yang dijadwalkan. (Net/Hen)
Tulis Komentar